Ralunasa
Nama : Alfin Nadhiro
Kelas : 11 IPS 3
Ralunasa
Akhir pekan telah tiba. Bukan. Ini bukan tentang menikmati suasana malam hari. Melepas penat pekerjaan menenangkan. Segala yang berkelamuk pada pikiran. Ini hanya tentang secuil harapan yang jauh terjun bebas menghujam muju bumi seperti titik debu pada kap mobil mewah yang ketika dilap hiking seketika. Seperti itulah gambaran yang di alami Ralunasa.
Gadis pemilik mata hijau dan rambut hitam lurus itu sedang merenung menatap jalanan yang ramai dari lantai atas kamar kosnya. Ia memikirkan apa yang terjadi selama ini. Berangan-angan sambal menatap eloknya formasi cahaya yang dipantulkan kendaraan-kendaraan Gedung kota menatap lekat pada formasi cahaya selayaknya mengerti apa yang ia rasakan.
Suara hembusan nafas terdengar dari Ralunasa. Beban seakan menumpuk pada kelopak matanya. Matanya hijau yang menyala seakan meredup seperti bola mata yang kehabisan energi. Matanya nanar. Butiran bening mengalir membasahi pipi.
Tidak. Ia gadis yang kuat. Tidak ada satupun yang membuatnya menangis. Tapi apakah kau lupa sepandai-pandainya tupai melompat pasti jatuh ke tanah juga? Sekuat-kuatnya ia menahan masalah yang menumpuk pada pundaknya akan jatuh juga ia ketanah. Tapi akan ia akan bangkit dengan tanpa uluran tangan.
Nada dering terdengar darimeja tempat ia belajar.Ia menoleh. Menatap kearah ponselnya yang bergetar. Ia berjalan mendekati ponsel sambal mengusap sisa air matanya. Matanya letih menatap sang penelpon.
Mama? Untuk apa menelpon?
Bantinnya berkecamuk untuk mengankat atau tidak. Lalu ia memutuskan untuk mengangkatnya.
“Halo ma” sapanya
“ Ralunasa. Ada apa dengankamu? Bagaimana kamu bisa memilih jurusan sastra apakah kamu tidak memikirkan masa depan bagaimana mungkin anak seorang aktris ternama yang memiliki reputasi tinggi memilih jurusan sastra mau jadi apa kamu, apakamu tidak memikirkan itu, apakah kamu tidak cukup memerlukan ini. Sudah cukup ayah yang menyakiti mama. Kau tau Ralunasa, pergi meninggalkan mama karena mama tidak berpendidikan kau mau mengulangi luka itu. Dan sekarang ayahmu akan berkeluarga lagi.tak cukup kah kau melukai mama” Juara mama Ralunasa terdengar jelas dari seberang sana nadanya seperti menahan emosi yang meluap-luap.
Ralunasa menjauhkan ponseknya dari telinganya ia menatap jerih kea rah ponsel tersebut. Ia meringis. Hatinya teriris oleh ucapan mamanya tersebut. Bukan salahnya apabila ia memilih jurusan sastra sejak awal. Mamanya juga tidak melarangnya. Tapi mengapa saat ia akan lulus mamanya mempertanyakan apa yang ia pilih. Dan mengapa ini terjadi pada keluarganya? Mengapa di tengah badai masalah ia mendapat kabar tentang pernikahan ayahnya? Apakah tak cukup semua reruntuhan menimpa punggungnya?
Waktu panggilan masih terus berjalan, pasti mamanya masih mengomel disana, dengan perasaan tak karuan, Ralunasa menekan tombol merah yang ada pada ponselnya. Ia menaruh ponselnya diatas meja lalu ia membantingkan tubuhnya diatas Kasur.
Dimalam akhir pekan yang sunyi. Ia berteman dengan linangan air mata, malam beranjak naik. Ia terlelap karena Lelah.
Matahari beranjak naik. Pagi menampakkan dirinya. Sinar matahari mengisi tiap celah kehidupan. Membiasakan setiap rongga menyerap cahayanya. Ralunasa membuka matanya sinar matahari yang menghampiri matanya membuat mengejap-ejap. Ia tersadar pukul berapa ia bangun. Lalu ia melihat jam dinding yang tertempel pada dinding kamar kosannya tersebut.
Jam 7 pagi. Astaga, Ia kesiangan. Ia lalu menyibak selimutnya dengan kasar, lalu bergegas ke kamar mandi. Hari ini ia ada janji dengan Joe Dirgantara, teman masa kecilnya yang tumbuh bersamanya hingga saat ini. Joe Dirgantara bukan hanya sekedar teman bagi Ralunasa, Ia juga seperti kakak yang melindungi dan meneangkannya, kala hatinya sedang dilinda lata.
Ralunasa keluar dari kamar mandi dengan terburu-buru, Ia menyambar pakaian yang sekiranya cocok untuk dipakai keluar. Lalu ia memakainya dengan tergesa-gesa. Berpindah ke cermin, dia merapikan rambutnya yang berantakan. Lalu memberikan hiasan di wajahnya. Setelah ia merasa cukup pantas untuk keluar,ia menyambar tas kecil, dompet, beserta ponselnya. Dan segera ia masukkan ke dalam tas kecil ysng dibawanya. Dengan terburu-buru ia keluar kamar dan mengunci pintunya. Astaga! Ia lupamemakai parfum. Lali ia membuka kembali pintu kamarnya. Dan segera menyemprotkan parfum kepadanya.
Ia keluar dan mengunci pintu kamarnya. Ia menyusuri tangga dengan tergesa-gesa, takut Joe menunggunya dari tadi. Setelah ia keluar dari kosnya ia melihat motor Joe yang terparkir didepan kosnya. Ia menghembuskan nafas berusaha menenagkan diri. Setidaknya untuk terlihat tenang didepan Joe. Iamenghampiri Joe dan menanyakan “apakah dia menunggunya sudah lama?” “Nggak kok, barusan juga datatng” jawab Joe dengan tersenyum.
Joe menyerahkan helm yang dibawanya ke Ralunasa. Ralunasa meneriman dan segera memakainya sebelum Ralunasa menaiki motor Joe. Joe mencegahnya. Joe menyerahkan sebuah masker kepada Ralunasa.“Save healty your self, Ralunasa” kata Joe mengingatkan Ralunasa menerimanya. Ralunasa menaiki motor Joe. Setelah dipastikan Ralunasa aman, Joe menghidupkan motornya dan menuju ke tempat yang akan mereka kunjungi.
Mereka menuju ketoko buku yang paling dekat dengan kos Ralunasa. Hanya perlu waktu 30 menit untuk sampai ditoko buku tersebut. Mereka sampai. Ralunasa turun dan melepas helm yang ia pakai. Ia menyerahkan kepada Joe. Joe menerimanya dan meletakkan di kaca spion. Matanya menatap kea rah Ralunasa, melihat rambutnya Joe tertawa renyah melihat rambut Ralunasa yang sedikit acak-acakan. Lalu ia merapikan rambut Ralunasa. “Makasi” ujar Ralunasa. Joe melepas helmnya dan di kaca spion yang satu lagi. Mereka akhirnya masuk ketoko buku tersebut. Mereka mencari buku untuk tugas kuliah mereka.
Ralunasa melangkah mendahului Joe menuju rak buku sastra. Hatinya dalam kondisi gembira melihat tumpukan-tumpukan buku. Seakan-akania mendapatkan seluruh kesenangan. Joe yang dibelakangnya hanya bisa menggeleng kecil sambal tersenyum, melihat tingkah laku Ralunasa. Ralunasa membuka satu persatu buku semple yang di rak, membacanya sekilas lalu meletakkan begitu kerasnya. Joe menghampri dibelakan Ralunasa, memperhatikan gerak-gerik Ralunasa sambal tersenyum. “kitakan Cuma cari karya pramudiya anantatoer” ujar Joe mengingatkan.”iya, akukan Cuma lihat-lihat aja” ujar Ralunasa sambal menemukan kegiatannya. “Nanti dulu kan bisa, cari dulu apa yang kita rencanakan”ujar Joe dengan memegang tangan Ralunasa menghentikan aktivitasnya.
Luna mendekat kea rah Joe. Mukanya cemberut mengajukan protes. Tapi Joe tetap menggeleng dengan tegas. Akhirnya Ralunasa pasrah. Meletakkan bukunya kembali dan mengikuti langkah kaki Joe. Mereka sampai rak sastra karangan pramudiya. Mereka memilih buku mana yang akan mereka buat tugas. Setelah 30 menit diskusi panjang, mereka akhirnya memutuskan membeli buku dengan judul berbeda. Lalumereka membayarnya kekasir.
Namun sebelum mereka sampai meja kasir. Ralunasa tiba-tiba ingin pergi kekasir terlebih dahulu dan ia akan menyusul. Joe hanya mengangguk saja. Lalu Ralunasa segera meninggalkan Joe ke kamar mandi dan Joe pergi ke kasir. Selesai dari kamar mandi Ralunasa segera menyusul Joe ke kasir. Saat hendak menghampiri Joe Ralunasa melihat orang yang taka asing di rak buku seberang. Pawakannya tinggi dan tegak serta rambut yang agak kecoklatan ia tidak dapat melihat wajahkanya karena membelakanginya.
Seorang gadis kecil berlari ke arahnya di belakangnya seorang wanita berparas cantic mengikuti gadis kecil tersebut. Ralunasa kira itu adalah ibu dari gadis kecil tersebut. Laki-laki dengan rambut coklat tersebut merentangkan tangan menyambut gadis kecil tersebut. Keduanya berpelikan. Ralunasa mengingat masa keilnya dulu ketika keluarganya sedang baik-baik saja. Wanita itu jelita dibelakanginya menghampiri laki-laki berambut coklat tersebute mereka melihat keluarga yang sangant bahagia.
Sejurud kemudian mereka berbalik yang membuat Ralunasa mematung terbeku. Batinnya berkecamuk hatinya kalut. Ia tidak mempercayai apa yang ia lihat. Seolah kejadian tersebut membeku freeze. Seolah ada yang usil menghentikan detak jarum jam.
Benar itu ayahnya. Tak salah lagi. Iya sangan mngenali raut bahagia itu. Setiap inci wajahnya masih tetap sama taka da yang berubah. Hatinya perih seakan teriris.
“Apakah ini yang di maksud mama? Apakah inikeluarga baru ayah? Benarkah ayah bahagia dengan keluarga barunya” kesikane miring dikesik ganti garis.
Pikirannya kalut. Hatinya terbelanggu. Menatapnya berlama-lama membuat hatinya panas. Ia berbalik segera meninggalkan took buku tersebut dan Joe. Dia butuh tempat yang lebih tenang. Dia harus menangkan hatinya. Kaki Ralunasa mengajaknya berlari kearah taman. Kakinya duduk bersimpun diatas tanah didekat air mancur tangan. Dia sudah tidak tahan. Dia benar-benar ingin melepaskan semuanya. Tidak ada harapan untuk mengembalikan keluarganya pada semula. Dia menangis terseduh-seduh menumpuhkan tangan pada pinggiran air mancur. Linangan air matanya menyentuh tanah. Orang-orang di sekitar taman menatapnya prihatin. Berfikir bahwasannya gadis malang tersebut dihianati oleh pacarnya. Namun tidak ada yang tau bahwa sebenarnya dia telah dihianati oleh cinta pertamanya. Cinta yang menumbuhkan karakter-karakter di setiap senakal hidupnya. Namun mereka tak peduli siapa juga yang mau mengulurkan tangan akan membantunya yang menghapuskan air matanya. Tidak, orang-orang tidak sepeduli itu.
Sepasang kaki telah berhenti didepannya. Dia menatap nanar sepasang kaki yang terbalut sepatu putih tersebut. Ia tau itu sepatu milik siapa. Ia sangat tau. Ia sangat mengenalinya. Uluran tangan mengusap lembut kepalanya. Seolah berkata semua akan baik-baik saja, Ralunasa mmenunggakkan kepalanya menatap sang pemilik tangan. Tampilannya sangat buruk. Air mata tercecer diseluruh wajahnya rambutnya sudah berantakan.Sang pemilik tangan membantu merapikannya dan menghapuskan sisa-sisa air mata.
Tangannya terulur untuk membantu Ralunasa. 1 menit, 2 menit. Tangannya tidak juga disambut oleh Ralunasa. 3 menit, 4 menit. Tangannya tetap setia menunggu sambutan Ralunasa tidak berpindah sedit pun 5 menit berlalu. Tetap juga tidak disambut Ralunasa pada menit ke 6, tangan Ralunasa perlahan terulur kepada tangan yang menunggunya dari tadi itu tangan Joe Dirgantara membantu Ralunasa berdiri. Setelah berdiri tangan Joe mencengkram sert bahu Ralunasa, berbisik bahwa semua akan baik-baik saja.
Tentang Penulis:
Apakah kalian malas berfikir untuk kelanjtan cerita? Zaman telah modern, dan kalia masih malas untuk berfikir. Pantas saja negara ini tidak menjadi negara maju, Jika rakyatnya masih malas berfikir. Jadi gunakan pikiran kalian dengan baik.
Tugas yang dikerjakan sudah bagus. Tetap semangat menulis!
BalasHapus