Rimba Penyesalan
Rimba Penyesalan
“Uang bukanlah segala-galanya, percuma
memiliki uang melimpah apabila tak bahagia.” Ucap seseorang di kantorku, saat
itu aku tidak sengaja mendengar obrolan mereka ketika sedang jam makan siang.
Namun, aku tidak setuju dengan pernyataan itu, karena bagiku uang adalah
segalanya.
Aku bekerja di salah satu lembaga legislatif
di negeri ini, di mana aku mendapat jabatan tertinggi di sini. Tak ada yang
berani melawanku, juga keluargaku. Sejak lama aku telah mengincar posisi ini.
Namun, bukan karena aku ingin berkontribusi untuk memajukan negeri, aku hanya
mengincar harta rakyat yang dapat ku kantongi.
Suatu hari aku mendapatkan kabar bahwa putra
kesayanganku sedang berada dalam tahanan, lagi. Aku tak begitu terkejut ketika
mendengarnya, karena ini adalah kali kelima dia berada di balik jeruji tahanan.
Tak banyak bicara, aku pun pergi menuju kantor polisi yang menahan satu-satunya
putraku itu, Narendra.
Begitu sampai di sana, polisi-polisi itu
melihatku dengan tatapan seolah-olah ini adalah kejadian yang sudah biasa
terjadi. Dan mereka membiarkanku untuk menemui putraku.
Aku bertanya kepada Narendra, “Ada kejadian
apa lagi sampai kamu kembali ke tempat menjijikkan ini?” bagiku, tempat ini
hanya diperuntukkan bagi orang-orang yang tidak mampu.
“Aku kesal, Ma. Mama tahu kan kalau aku
menyukai Dara sejak lama, tapi dia malah milih cowo lain,” jawabnya.
Aku menghela nafas panjang, “Huft, aku pikir
apa Ya Tuhan. Lalu kamu apakan laki-laki itu? Lagipula kamu bukannya punya
banyak cewek?”
“Tapi Dara itu sulit banget buat didapetin,
makanya sampe sekarang aku belum bisa lupain dia. Kalo cowonya nggak aku
apa-apain kok, Ma. Cuma aku keroyok dikit aja sama temenku, hehe.” Ucapnya
sambil tertawa kecil.
Setelah itu, aku pergi dan mengatakan kepada
Narendra bahwa dia akan segera bebas. Dan tentu, dia percaya kepadaku. Begitu
sampai di rumah, aku langsung membersihkan diri dan mengganti pakaianku.
Setelah itu, aku berencana untuk menghubungi beberapa pihak untuk menyelesaikan
masalah ini. Namun, ketika aku dalam perjalanan mengambil gawai milikku,
kepalaku terasa sangat berat. Bahkan rasanya seperti ada burung yang terbang di
atas kepalaku. Dan malangnya, kepalaku terbentur sudut meja yang ada di
depanku. Aku tidak dapat melihat semua yang ada di sekelilingku, hingga
akhirnya aku pun terjatuh.
Beberapa saat kemudian mataku terbuka, tetapi
anehnya aku tidak sedang berada dalam rumahku. Aku pun bangun dan mulai
mengamati ke setiap sudut tempat ini. Aneh, hanya itulah kata yang dapat
mewakili tempat ini. Hutan belantara, dengan daunnya yang berjatuhan, serta
sedikit gelap lengkap membuat bulu kudukku merinding. Aku pun berteriak,
berharap ada seseorang di sekitar sini.
“Toloongg, adakah orang di sini? Siapapun, please...”
tak ada sahutan sedikit pun dari setiap sudut hutan. Aku pun berteriak kembali,
“Toloonggg, toloonggg, anyone please help me.. uhukk” tetapi hasilnya nihil.
Aku pun mulai berjalan pelan-pelan, berharap ada seseorang yang dapat membantu.
Hampir setengah jam aku berjalan, tetapi tak kunjung menemukan harapan. Aku
berjalan lebih jauh lagi, lebih lama lagi. Namun, entah mengapa aku merasa ada
seseorang yang sedang melihatku. Ketika aku menoleh ke belakang, tidak ada
siapapun di sini. Aku merasa khawatir, dan juga takut di saat yang bersamaan.
Aku mempercepat langkah kakiku, tetapi rasanya orang tersebut semakin dekat. Dan
aku pun berlari sekuat mungkin, hingga aku tak sadar bahwa di depanku ada lubang
yang sangat besar dan dalam seperkian detik aku terjatuh dalam lubang tersebut.
“Akhh, kenapa sial sekali sih hari ini,”
ucapku sambil berdiri dan membersihkan bajuku. Namun, tiba-tiba ada suara pria
yang memanggilku dari atas tempatku terjatuh. Rasa takutku semakin menyeruak,
dan aku mulai menutup mataku sambil membaca doa apapun yang aku ingat. Sayangnya
pikiranku terlalu buntu untuk mengingat doa pendek sekalipun.
“Aduh baca doa apa ya? aku juga jarang ibadah,
ya Tuhan apa ini karma untuk diriku ya. Ah sudahlah aku baca doa seingatku
saja, allahumma barik lana fii ma rozaktana wa qina adza bannar,” dan aku
mengulanginya hingga beberapa kali dengan suara keras. Namun, pria tersebut
semakin keras dalam memanggilku. Aku pun memberanikan diri untuk melihat ke
arah atas, dan betapa terkejutnya aku bahwa ternyata pria tersebut adalah
manusia asli. Terkejut dan juga lega di saat yang bersamaan, aku lega bahwa
ternyata dia bukanlah hantu seperti yang aku pikirkan.
“Heh mbak e, samean krungu suaraku gak?” ucap
pria tersebut. Hey mbak, anda dengar suara saya tidak.
Entah mengapa bahasa yang digunakan pria ini
tidak asing di telingaku. “Hey, bisa dengar suara saya tidak sih?” ucap pria
tersebut sekali lagi. Setelah mendengarkan kalimat keduanya, sepertinya aku
mengetahui bahasa apa yang digunakan pria ini. Bahasa Jawa.
“Iya, aku bisa mendengar suaramu,” balasku
dengan suara yang ku keraskan. Dan beruntungnya aku masih mengetahui cara
berbicara menggunakan bahasa Jawa. Pantas saja terasa sangat tidak asing.
“Kalau begitu cepat tarik tali ini! Sebelum
aku lepaskan,” ucap lelaki itu sambil menurunkan sebuah tali. Aku pun memegang
tali tersebut dan naik keluar dari lubang besar tersebut.
“Huft, leganya bisa keluar dari lubang itu,”
ucapku setelah berhasil keluar. Namun, pria tersebut malah menatapku dengan
sinis. Aku pun membalas tatapan tersebut dan berkata, “Apasih, kamu tidak tahu
siapa saya? Berani-beraninya menatap saya dengan tatapan seperti itu.”
“Pfft, memang anda siapa?” balas pria itu
sambil tertawa mengejek. “Saya tidak tahu mbak ini siapa, tapi saya juga tidak
mau tahu sih,” lanjut pria itu dengan tertawa yang semakin keras. Mendengar
kalimat dari mulut pria itu rasanya ingin ku tampar saja pipinya, tapi aku
masih berusaha menahan diri.
“Terserah masnya mau tau atau tidak, tapi yang
pasti saya ini punya jabatan yang lebih tinggi dibandingkan anda,” balasku.
“Sebentar, mbaknya ini habis terbentur ya?
Satu-satunya yang punya jabatan tinggi di daerah ini hanyalah Ratu Sima,” ucap
pria itu. Seketika aku terkejut, karena bagaimana mungkin ada yang memiliki
jabatan lebih tinggi dariku?
“Huh, tidak mungkin. Memangnya siapa Ratu Sema
itu?” balasku kepadanya sambil memutar bola mataku.
“Ratu Sima, bukan Sema. Kalau Sema itu sapi
saya mbak,”
“Halah sama ajalah, Sima Sema Semi, pokoknya
itu. Tapi memangnya ratu itu masih hidup ya di zaman sekarang?” tanyaku
keheranan. Karena tidak mungkin zaman sekarang masih ada ratu atau raja,
kecuali aku masuk mesin waktu.
“Ya masih
ada dong mbak. Kalau ada kerajaan ya pasti ada raja atau ratu,” seketika aku
terkejut mendengar jawaban pria tersebut. Mana mungkin aku benar-benar kembali
ke masa lalu.
“Jadi, daerah ini itu termasuk wilayah
Kerajaan Kalingga, yang mana Ratu Sima ini adalah pemimpinnya. Ratu Sima
dikenal sebagai ratu yang tegas dan jujur. Bahkan ya mbak, Ratu Sima akan
menghukum anaknya. Karena anaknya telah menyentuh harta yang bukan miliknya,
baru menyentuh ya bukan mencuri.” Sekarang aku benar-benar yakin bahwa aku
kembali ke masa lalu.
Namun, entah kenapa ketika mendengar
penjelasan dari pria tersebut, jantungku langsung berdetak kencang. Hatiku
gelisah, pikiranku langsung tertuju kepada Narendra. Aku pun bertanya lebih
jauh tentang cerita dari Ratu Sima dan anaknya.
“Kalau yang saya dengar kemarin mbak, ada
sebuah tas yang berisi uang dan tergeletak begitu saja. Kami para rakyat jelata
jelas tidak berani mengambilnya mbak, karena kalau kita mengambil barang yang
bukan milik kita itu akan langsung dipotong tangan kami mbak. Uang tersebut
tetap utuh hingga hari ke 39, tetapi pada hari ke 40 hilang. Dan ketika kami
dikumpulkan ada seorang saksi yang berkata bahwa dia melihat pangeran, yakni
anaknya ratu sima yang menyentuh tas tersebut. Dan akhirnya anaknya akan
dihukum, kalau sesuai pendengaran saya hari ini hukuman tersebut akan
diberikan. itulah kenapa mbak saya bilang jabatan tertinggi di sini itu
dipegang ratu Sima. Lagipula saya dari tadi melihat mbak itu karena mbaknya
udah dibantu tapi mengucapkan terima kasih saja tidak" jelas pria
tersebut.
"Astaga, iya iya terima kasih. Sebentar,
kamu bilang tadi bahwa hukuman tersebut akan dilaksanakan hari ini ya? sekarang
antarkan aku ke sana!" jawabku
"Enak saja mbak ini nyuruh-nyuruh saya,
kalau mbak mau dihargai hargai orang lain juga dong mbak. Minimal mbaknya tahu
cara mengucapkan terima kasih, tolong, maaf dan juga permisi." jelas pria
itu. Kali ini penjelasan dari pria ini begitu menusuk dadaku, memang sebelumnya
aku jarang bahkan hampir tidak pernah berkata seperti itu. Kecuali jika memang
mendesak seperti tadi.
“Bisakah kamu membawa saya ke sana? tolong?”
pinta ku dengan nada yang rendah. Dan kemudian pria tersebut menyetujuinya.
Kemudian aku pergi menuju daerah yang dimaksud. Ketika di tengah perjalanan
pria tersebut bertanya, “Tapi mbaknya ini tersesat atau bagaimana? kenapa bisa
sampai ke sini? dan kenapa juga pakaian mbak ini terlihat asing sekali bagi
saya?” seketika aku membeku, bingung bagaimana cara menjawabnya. Namun, aku
berusaha mencari alasan agar dapat menutupi bahwa sebenarnya aku bukan orang di
masa ini.
“Saya tersesat, saya juga bukan asli orang
daerah ini. Saya berasal dari negeri seberang,” jelasku. Beruntungnya pria
tersebut langsung percaya dan mengangguk pertanda dia memahami perkataanku. Hingga
beberapa saat kemudian aku bersama pria tersebut sampai di tempat yang kami
tuju. Tempat tersebut sangat ramai, bagaikan banjir manusia. Tepat di ujung
sana, ku lihat ada kraton dengan ukuran yang sangat besar. Dan di depan kraton
tersebut ada seorang perempuan bersama beberapa orang di sekitarnya,
kemungkinan itu adalah Ratu Sima yang diceritakan pria tersebut.
“Nah mbak, itu Ratu Sima yang sedang duduk.
Sangat berwibawa bukan? Dan itu yang ada di depannya ratu adalah anaknya, putra
mahkota. Sepertinya acaranya sudah akan dimulai,” jelas pria tersebut.
Beberapa saat kemudian ratu tersebut berdiri
seperti akan menyampaikan sesuatu, “Puteraku, tindakanmu yang melanggar hukum
telah mencoreng kehormatan kerajaan ini. Sejatinya hukuman yang sesuai dengan
peraturan kerajaan adalah potong tangan. Namun, karena kerendahan hati para
penasehat dan menteri serta seluruh orang-orang yang ada di sini, hukumanmu
akan diringankan. Dan sebagai hukuman, ibu jari dari kakimu akan dipotong karena
kakimu yang telah menyentuh uang tersebut. Semoga dengan ini seluruh rakyat di
negeri ini mengetahui, bahwa keadilan harus tetap dijunjung tinggi, apapun yang
terjadi,” jelas ratu tersebut diikuti sorak ramai dari rakyat.
“Hidup Ratu Sima,” sorak dari rakyat
berkali-kali.
Kemudian hukuman pun dilaksanakan, ibu jari
dari kaki dari putra mahkota benar-benar dipotong. Hal tersebut membuatku
takjub, bahkan rasanya aku tidak dapat mengalihkan pandangan dari sang ratu.
Apabila aku yang menjadi ratu tersebut, sudah jelas aku tidak akan menghukum
putraku sendiri. Aku merasa malu, sungguh menyedihkan apabila hatiku tidak tersentuh.
Beberapa saat kemudian kepalaku terasa berat,
mataku tidak bisa melihat dengan jelas, rasanya seperti ada batu yang jatuh
menimpa kepalaku. Dan tanpa sadar, aku kembali terjatuh dan pingsan. Sesaat
kemudian, ketika aku membuka mata ternyata aku kembali ke tubuh asliku, ke
rumah asliku.
“Non, nona tidak apa-apa? Tadi saya lihat nona
pingsan akhirnya saya minta tolong ke bodyguard nona untuk membawa nona
ke kamar,” ucap pembantuku khawatir. Padahal selama ini aku tidak pernah
memperlakukan dia dengan baik, tapi dia masih peduli kepadaku. Sekali lagi, aku
merasa malu.
“Iya saya tidak apa-apa bi Ratih. Terima kasih
ya karena selama ini sudah peduli ke saya, maaf kalau saya belum bisa jadi
majikan yang baik,” ucapku kepadanya. Seketika dia terkejut, mungkin karena
selama ini aku selalu berkata tidak baik kepadanya.
“Ndak non, ndak papa. Nona sudah mau menerima
saya bekerja saja itu sudah cukup,” balas bi Ratih. Aku semakin merasa tidak
enak, kemudian ku peluk bi Ratih dengan erat. Dia pun membalas pelukanku.
Esok harinya aku bergegas menuju tempat
Narendra, dan ketika bertemu aku langsung menjelaskan niatku kepadanya,
“Gimana ma? Aku bebas kan hari ini?” tanya
Narendra.
“Sebelumnya mama minta maaf apabila kamu tidak
setuju dengan keputusan mama. Setelah menimbang-nimbang, mama sadar bahwa kamu
seharusnya tetap berada di sini,” belum selesai kalimatku dia langsung menyela.
“Loh ma? Kok gitu sih? Mama nggak sayang aku
lagi? Ga bisa ma aku mau keluar,” rengek Narendra.
“Dengar penjelasan mama dulu. Mama sadar bahwa
mama salah mendidik kamu. Perbuatan kamu itu salah, kamu telah melanggar aturan
negara. Bahkan menyakiti orang lain dan membuatnya sampai masuk rumah sakit.
Sudah berkali-kali kamu melakukan perbuatan semena-mena, dan sekarang saatnya
kamu sadar akan perbuatan kamu,”
“Mama kenapa sih? Kepala mama habis terbentur
ya? Kenapa mama jadi mirip almarhum ayah sih sekarang, sok suci,”
“Narendra! Jaga ucapan kamu ya! Sekarang mama
benar-benar sadar bahwa kamu seharusnya memang berada di sini. Setiap orang itu
pernah berbuat salah, tapi bukan berarti tidak ada kesempatan untuk berubah.
Sekarang renungi diri kamu, kesalahan kamu, perbuatan kamu, introspeksi diri.” Ucapku
dan langsung meninggalkan Narendra, meski ku dengar dia masih merengek untuk
keluar, tetapi keputusanku sudah bulat.
Aku langsung keluar dan bergegas menuju masjid
terdekat. Aku bertekad bahwa aku akan berubah. Akan ku perbaiki segala
kesalahanku, dan akan ku kembalikan semua uang milik yang seharusnya menjadi
hak dari masyarakat.
Tugas yang dikerjakan sudah bagus dan bisa ditambahkan bionarasi. Tetap semangat menulis!
BalasHapus